Pertumbuhan dan perkembangan anak
merupakan moment istimewa yang senantiasa menjadi bagian perhatian
orang tua. Setiap ada kemampuan baru yang dicapainya merupakan prestasi
tak ternilai bagi sang ayah bunda, dan sebaliknya, setiap hambatan dalam
tumbuh kembangnya merupakan hal yang sangat merisaukan orang tua.
Kemunduran dalam prestasi belajar termasuk salah satu diantara hal yang
cukup mengkhawatirkan orang tua, apalagi jika pihak sekolah sudah mulai
memberi “peringatan” atau “label-label” tertentu pada sang buah hati.
Sayangnya, orang tua dan guru seringkali terlambat mengenali penyebab
permasalahan yang dihadapi anak kita, sehingga anak baru dibawa
berkonsultasi setelah mengalami gangguan belajar yang sangat
mengkhawatirkan bahkan tidak jarang anak sudah terlanjur mengalami
stress atau depresi akibat masalah yang dihadapinya tersebut. Oleh
karena itu kali ini kita akan bahas salah satu penyebab gangguan belajar
(learning disability = LD) yang tersering terjadi, yang kita kenal
dengan istilah disleksia.
Disleksia (atau disebut juga sebagai
gangguan membaca spesifik) pada anak dilaporkan pertama kali pada tahun
1896 dan merupakan salah satu bentuk gangguan belajar yang paling
sering, yaitu mengenai sekitar 80% dari kelompok individu dengan
gangguan belajar.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN DISLEKSIA
Disleksia berasal dari bahasa Greek,
yakni dari kata “dys” yang berarti kesulitan, dan kata”lexis” yang
berarti bahasa. Jadi disleksia secara harafiah berarti “kesulitan dalam
berbahasa”. Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam
membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa
yang lain. Kesulitan membaca pada anak disleksia ini tidak sebanding
dengan tingkat intelegensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk
kemampuan membaca dengan lancar dan akurat, karena anak disleksia
biasanya mempunyai level intelegensi yang normal bahkan sebagian
diantaranya di atas normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar
kelainan neurobiologis, dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali
kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengkode
symbol. Beberapa ahli lain mendefinisikan disleksia sebagai suatu
kondisi pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal) yang
seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang dapat
mempengaruhi area kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan
input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalian
gerak. Dapat terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya
terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut:
1. Masalah fonologi
Yang dimaksud masalah
fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya
mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka
keliru memahami kata kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya
”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah
pendengaran namun berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam
otak.
2. Masalah mengingat perkataan
Kebanyakan anak
disleksia mempunyai level intelegensi normal atau di atas normal namun
mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit
menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan
istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka
mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat
jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
3. Masalah penyusunan yang sistematis / sekuensial
Anak disleksia
mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan
bulan dalam setahun, hari dalam seminggu atau susunan huruf dan angka.
Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan
sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang
ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal orang
tua sudah mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam
agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan
dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan
memahami instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan
adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi. Maka 15 menit sebelum waktu
berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun
”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya mereka tidak
yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
4. Masalah ingatan jangka pendek
Anak disleksia
mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu
yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di
lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah
lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR
matematikanya ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan
seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat
seluruh perkataan ibunya.
5. Masalah pemahaman sintaks
Anak disleksia sering
mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam
waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang
mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah
dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda
daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan
Diterangkan–Menerangkan (contoh: tas merah), namun dalam bahasa Inggris
dikenal susunan Menerangkan-Diterangkan (contoh: red bag).
DISLEKSIA DAN OTAK KITA
Pada tahun 1878 dr. Kussmaul dari
Jerman melaporkan adanya seorang lelaki yang mempunyai kecerdasan
normal tapi tidak dapat membaca, beliau menamakan keadaan ini sebagai
“buta membaca” (reading blindness). Tahun 1891 Dejerine telah melaporkan
bahwa proses membaca diatur oleh bagian khusus dari system saraf
manusia yaitu di bagian belakang otak. Pada tahun 1896, British Medical
Journal melaporkan artikel dari Dr. Pringle Morgan, mengenai seorang
anak laki berusia 14 tahun bernama Percy yang pandai dan mampu menguasai
permainan dengan cepat tanpa kekurangan apapun dibandingkan teman
temannya yang lain namun Percy tidak mampu mengeja, bahkan mengeja
namanya sendiri sebagai “Precy”.
Penelitian terkini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan anatomi antara otak anak disleksia dengan anak
normal, yakni di bagian temporal-parietal-oksipitalnya (otak bagian
samping dan bagian belakang). Pemeriksaan functional Magnetic Resonance
Imaging yang dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan aktivitas
membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu disleksia
jauh berbeda dengan individu biasa terutama dalam hal pemprosesan input
huruf/kata yang dibaca lalu “diterjemahkan” menjadi suatu makna.
BAGAIMANA MENGENALI DISLEKSIA
Berikut ini adalah tanda tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali oleh orang tua atau guru:
- Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya
- Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya essay
- Huruf tertukar tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, ’s’ tertukar ’z’
- Membaca lambat lambat dan terputus putus dan tidak tepat misalnya
- Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”).
- Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis” dibaca sebagai ”tulis”)
- Tdak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah dijumpai
- Tertukar tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama)
- Daya ingat jangka pendek yang buruk
- Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar
- Tulisan tangan yang buruk
- Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
- Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek
- Kesulitan dalam mengingat kata-kata
- Kesulitan dalam diskriminasi visual
- Kesulitan dalam persepsi spatial
- Kesulitan mengingat nama-nama
- Kesulitan / lambat mengerjakan PR
- Kesulitan memahami konsep waktu
- Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan
- Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
- Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari hari
- Kesulitan membedakan kanan kiri
DIAGNOSIS
Tidak ada satu jenis tes pun yang
khusus atau spesifik untuk menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis
disleksia ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita dari orang tua,
observasi dan tes tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak atau
psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, professional lain seyogyanya
juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak disleksia yaitu dokter
saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis),
audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran),
opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan
penglihatan), dan tentunya guru sekolah.
Anak disleksia di usia pra sekolah
menunjukkan adanya keterlambatan berbahasa atau mengalami gangguan
dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam
pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali huruf-huruf
dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam keluarga.
Keluhan utama pada anak disleksia di usia
sekolah biasanya berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya
orang tua ”tidak terima” jika guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran
prestasinya adalah kesulitan membaca. Kesulitan yang dikeluhkan
meliputi kesulitan dalam berbicara dan kesulitan dalam membaca (table
1).
Tabel 1. Pertanda disleksia pada anak usia sekolah dasar
Kesulitan dalam berbicara
Salah pelafalan kata-kata yang panjang
Bicara tidak lancar
Menggunakan kata-kata yang tidak tepat dalam berkomunikasi
Kesulitan dalam membaca
Sangat lambat kemajuannya dalam ketrampilan membaca
Sulit menguasai / membaca kata-kata baru
Kesulitan melafalkan kata kata yang baru dikenal
Kesulitan membaca kata-kata ”kecil” seperti : di, pada, ke
Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda
Kesulitan menyelesaikan tes dalam waktu yang ditentukan
Kesulitan mengeja
Membaca sangat lambat dan melelahkan
Tulisan tangan berantakan
Sulit mempelajari bahasa asing (sebagai bahasa kedua)
Riwayat adanya disleksia pada anggota keluarga lain
Shaywitz S. Overcoming dyslexia. Ney York: Alfred A Knopf, 2003:12-124
JENIS-JENIS DISLEKSIA
Sebagian ahli membagi disleksia
sebagai disleksia visual, disleksia auditori dan disleksia kombinasi
(visual-auditori). Sebagian ahli lain membagi disleksia berdasarkan apa
yang dipersepsi oleh mereka yang mengalaminya yaitu persepsi pembalikan
konsep (suatu kata dipersepsi sebagai lawan katanya), persepsi
disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata berpindah tempat
dari depan ke belakang atau sebaliknya, dari barisan atas ke barisan
bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam
cermin, dan persepsi dimana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “
menghilang”.
Tidak semua anak disleksia menampilkan
seluruh tanda / ciri /karakteristik seperti yang disebutkan di atas.
Oleh karena itu terdapat gradasi mulai dari disleksia yang bersifat
ringan, sedang sampai berat.
SIAPA SAJA YANG DAPAT MENGALAMI DISLEKSIA ?
Siapa saja, tanpa memandang jenis
kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa
mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan
faktor risiko terpenting karena 23-65% orang tua dileksia mempunyai anak
disleksia juga. Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak
menyandang disleksia, tapi penelitian-penelitian terkini menunjukkan
tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan perempuan yang
mengalami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih kentara
jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus
disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada
perempuan.
BISA SEMBUH ‘GAK…?
Penelitian retrospektif
menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis.
”Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti ”menghilang” atau
”berkurang” di masa dewasa bukanlah karena disleksia nya telah sembuh
namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi
kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut.
APA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK ANAK DISLEKSIA
- Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
- Anak duduk di barisan paling depan di kelas
- Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
- Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
- Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup
- Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:”J, t, l, u, y, j”, bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”
- Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara tersebut sukar diterima oleh sang anak.
- Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.
Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan
disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya
menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa
anaknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di
bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin
”mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak
terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Sumber: Kristiantini Dewi dr., SpA
Referensi:
- J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB. Sarnat (penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia
- Sally, Shaywitz, Bennett (2006). Dyslexia, dalam: KF. Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier (penyunting). Pediatric neurology principles and practice, volume 1, edisi ke-4. Mosby, Philadelphia
- S. Devaraj, S. Roslan (2006). Apa itu disleksia, panduan untuk ibu bapa, guru dan kaunselor, dalam: S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur
- G. Reid (2004). Dyslexia: A complete guide for parents. John Wiley and Sons, Ltd, England
- R. Frank (2002). The secret life of dyslexic child, a practical guide for parents and educators. The Philip Lief Group, Inc, 2002
0 komentar:
Posting Komentar